Sejarawan UGM Tak Setuju Nama Ibu Kota Negara Nusantara, Ini Alasannya
Sabtu, 22-01-2022 - 16:11:17 WIB
JAKARTA - Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Akhyat tak setuju dengan penamaan calon Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Walaupun begitu, pemilihan kata tersebut tentu sudah menjadi kajian mendalam.
Menurut Arif, kata Nusantara tak hanya muncul pada masa Majapahit. Namun, sudah ada sejak masa kerajaan Singasari dan merujuk wilayah pulau luar, seperti Bali, Malayu, Madura hingga Tanjungpura.
"Nusantara dibedakan dengan Dvipantara yakni Dvipa yang artinya Jawa. Konsep Nusantara, pada masa Majapahit merupakan konsep geopolitik untuk mengidentifikasi suatu wilayah yang meliputi Bali, Malayu, Madura dan Tanjungpura. Keempat wilayah itu juga termasuk wilayah Singapura, Malaysia. Juga wilayah Sumatra, Borneo, Sulawesi dan Maluku, Lombok, Timor. Bahkan, pengaruhnya sampai Champa, Cambodia, Annam dan Siam," papar dia dikutip dari iNews.id.
Sehingga, Arif menilai nama Nusantara lebih luas dari wilayah Indonesia sendiri. Bahkan, nama tersebut merujuk pada daerah luar Jawa.
"Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yang sekarang disebut Indonesia. Dengan sedikit ulasan tadi sebenarnya, Nusantara, bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa," tegas Arif.
Lebih lanjut, dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) memaparkan nama Nusantara untuk penamaan suatu wilayah tidak mengandung perspektif negatif atau positif. Ia hanya sebuah nama untuk menyebut wilayah di luar Jawa.
"Jika diberikan nama itu untuk IKN ya itu soal nama. Tetapi bagaimana tafsir nama itu digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, keadilan pembangunan. Inti pemindahan IKN itu bukan soal nama, namun seberapa jauh persiapan yang dilakukan dengan berbagai analisis secara komprehensif dan multidisipliner. Jangan sampai pemindahan IKN hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar," imbuhnya.
Pemilahan nama Nusantara untuk IKN, menurut Arif, punya pandangan sendiri. Menurutnya nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya.
Pasalnya, bila terjadi pemilihan nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya.
"Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi Ibu Kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu," jelas dia.
Sementara itu, seperti diketahui Presiden Soekarno pernah bercita-cita memindahkan IKN dari Jakarta ke Kalimantan. Menurutnya, Soekarno ingin memindahkan karena ada motif yang berbeda dengan sekarang.
Sepanjang sepengetahuan Arif, berbagai motif dan alasan melatarbelakangi perpindahan IKN. Misalnya, IKN pernah pindah ke Yogyakarta 1946, dikarenakan kondisi Jakarta secara politik tidak aman, revolutif, dan di bawah ancaman agresi militer Belanda.
Sedangkan, gagasan IKN mau dipindahkan Soekarno tahun 1957 ke Palangkaraya, itu pun sangat mungkin karena salah satunya adanya intrik politik militer 1957 dengan gerakan separatisme dari berbagai daerah, sehingga IKN (Jakarta) tidak aman.
"Jadi persoalan perpindahan IKN ini bukan sekedar relevan atau tidak, namun seberapa jauh urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan. Lebih jauh lagi, kebijakan makro dalam konteks pembangunan, termasuk perpindahan IKN jangan sampai ahistoris dan bersifat politis," tutup dia. (*)